FOKUS SURABAYA - Hari Valentine yang biasanya banyak dirayakan pada tanggal 14 Februari menyisakan banyak pertanyaan.
Sebagai generasi muda Islam, bagaimana sikap kita dalam menghadapi Hari Valentine?
Berikut ini sikap yang hendaknya dilakukan oleh generasi muda Islam dalam menyikapi fenomena Hari Valentine.
Pertama, bahwa generasi muda Islam tidak perlu mengutuk Hari Valentine. Karena itu tidak hanya soal sejarah dan budaya, namun juga industri.
Baca Juga: Valentine Day: Sejarah dan Hukum Merayakannya dalam Perspektif Islam
Semakin digembar-gemborkan, mereka akan semakin laris jualan coklat. Jika dikutuk-kutuk, bahkan dengan fatwa sekalipun, itu justru tidak memberikan solusi yang cerdas, alih-alih justru upaya yang sia-sia.
Intinya, Hari Valentine hanyalah label dan bungkus. Isinya? Itulah para tugas generasi muda Islam untuk mengisi dan merayakannya dengan hal yang tak bertentangan dengan agama. Jika hanya memberi kado dan hadiah lain, saya kira itu tak masalah.
Kedua, generasi muda Islam mesti bisa membikin budaya tandingan Hari Valentine, yang isinya positif, konstruktif dan inspiratif. Misalnya, membikin Hari Valentine dengan kongkow budaya, bedah buku, kajian cinta dalam Islam, bedah film, atau hal yang kekinian dan hits lain.
Dengan begitu, bungkus yang memang dari budaya Barat itu kita filter menjadi budaya yang secara substansi tak bertentangan dengan ajaran Islam. Mengapa tidak? Sesepuh-sesepuh kita Walisongo telah mencontohkan, bagaimana tradisi dan budaya non-Islam berhasil diislamisasi secara substansi.
Wayang yang dulu hanya dikenal dengan wayang beber, diubah secara revolusioner bentuknya menjadi wayang kulit, bahkan isinya dengan cerita yang mendekatkan kepada ajaran tauhid.
Misalnya, para dewa-dewa yang ada di wayang itu, silsilah-silsilahnya berhenti sampai Nabi Adam AS, juga banyak memuat ajaran kebaikan. Secara istilah, karena kita orang Nusantara sudah banyak tradisi dan budaya, tidak serta merta dihilangkan begitu saja ketika Islam masuk.
Ini berkesesuaian dengan ajaran Islam itu sendiri yang tidak membasmi yang telah ada, namun menyempurnakan. Walisongo menjaga dan berhasil mengonversi itu dengan baik.
Istilah “kiai” yang sudah ada di sini tetap digunakan, tidak dengan kata “ustadz” atau “syekh.” Istilah “sembahyang” tetap dipakai meski isi dan perilakunya adalah shalat. Istilah “langgar” tetap di pakai, tidak langsung dengan masjid atau mushalla.
Artikel Terkait
Siapa Pengarang Kitab Fathul Izar? Berikut Jawabannya dan Profilnya
Saat Kamu Terlilit Hutang, Beginilah Amalannya
Kitab Karya Habib Zain bin Smith dan Nasihat bagi Para Pencari Ilmu
Istilah Dasar Penting dalam Kajian Ilmu Hadis
Perbedaan antara Tafsir, Takwil dan Terjemah dalam Kajian Ulumul Qur an
Imam Ghazali Disebut Hujjatul Islam, Apa maksudnya?
Jual Beli Sepeda Motor Bodong Menurut Kitab Kuning Bagaimana Hukumnya?
Mystery Box Diperjualbelikan, Bagaimana Hukumnya?
Ada 4 Kategori Manusia Menurut Imam Khalil al-Farahidi yang Dikutip Imam Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin
Valentine Day: Sejarah dan Hukum Merayakannya dalam Perspektif Islam